SATU - Perjanjian Pertama

You shalt have no other gods before me

Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku. [Ulangan 5:7]

… "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, … [QS. An Nahl, 16:2]

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, … [QS. Taahaa, 20:14]

… janganlah kamu mempersekutukan Allah, … [QS. Luqman, 31:13]

1 Setiap Rasul Allah selalu menyerukan hal yang sama kepada manusia, yaitu tentang laa ilaaha illa allah, tiada Tuhan selain Allah. Lantas kenapa Allah senantiasa mengutus seorang Rasul sebagai “pengingat” (pemberi peringatan) bahwa di alam semesta ini tiada Tuhan selain Dia? Apakah manusia pada masa Rasul tersebut diutus tidak mengetahui tentang hal itu?

2 Sebenarnya tidaklah demikian, karena jika kita mempelajari tentang sejarah orang-orang terdahulu, mereka sudah mengetahui tentang adanya monoteisme. Monoteisme berasal dari bahasa Yunani Monon (tunggal; satu; esa) dan Theos (Tuhan). Secara garis besar, monoteisme adalah sebuah kepercayaan yang meyakini bahwa Tuhan itu tunggal/satu/esa, yang berkuasa penuh atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

3 Salah satu contoh nyata adalah sejarah dari Amenhotep IV. Dia adalah seorang Fir’aun (Fir'aun adalah gelar bagi raja Mesir, dan tidak semua Fir'aun menganut politeisme [banyak Tuhan]) yang mempunyai kepercayaan monoteisme. Dia percaya dan meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan di alam semesta ini meskipun raja-raja Mesir yang sebelumnya menekankan kepada bangsa Mesir tentang politeisme sebagai kepercayaan (agama) resmi di Mesir. Namun demikian, Amenhotep IV tidaklah menganut agama resmi tersebut, dan saat dia menjadi Fir’aun (setelah kematian ayahnya), maka dia mengubah banyak kebiasaan yang disucikan oleh tradisi yang sudah terbilang berabad itu dengan kepercayaan monoteisme-nya. Fir’aun ini tidak mau menyembah Tuhan kaumnya yang banyak jumlahnya itu. Baginya hanya ada satu Tuhan yang perkasa, Aton, yang dia sembah dan ditampilkan dalam bentuk matahari.

4 Namun para pemimpin Thebes tidak mengijinkan dia menyampaikan kepercayaannya itu ke bangsa Mesir. Akhirnya Amenhotep IV (dan para pengikutnya) pindah dari kota Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Di Tell-El-Amarna mereka membangun sebuah kota baru dan modern yang mereka beri nama “Akhenaton” mengikuti nama Tuhannya. Amenhotep IV pun juga mengubah namanya yang berarti “kegembiraan Amon” menjadi Akhenaton yang berarti “tunduk kepada Aton” (sama dengan nama kota yang dia dan para pengikutnya bangun).

5 Amon sendiri adalah nama yang diberikan kepada Totem terbesar dalam kepercayaan politeisme bangsa Mesir. Sementara Aton, menurut Amenhotep IV, adalah “pencipta langit dan bumi”, penyamaan sebutannya untuk Allah; YHWH; Tuhan; Sang Hyang Widhi Wasa; Gusti.

6 Kota yang Amenhotep IV bangun semakin lama menjadi kota yang semakin berkembang (termasuk kepercayaan monoteisme-nya). Karena merasa terganggu dengan perkembangan tersebut, para pendeta Amon melakukan perlawanan hebat dengan dibantu oleh beberapa prajurit berupaya merenggut kekuasaan Akhenaton (Amenhotep IV) dengan mengambil kesempatan dari terjadinya krisis ekonomi di Mesir. Para pendeta Amon tersebut “kebakaran jenggot” karena merasa takut akan tergesernya kepercayaan politeisme mereka oleh kepercayaan monoteisme Amenhotep IV, karena merekalah yang paling diuntungkan dengan adanya kepercayaan politeisme pada bangsa Mesir.

7 Akhenaton akhirnya mati diracun oleh para komplotan ini. Kejadian tersebut menyebabkan para Fir’aun setelah Amenhotep IV berhati-hati untuk tetap berada di bawah pengaruh pendeta Amon, hal tersebut berujung pada tersebarnya kembali kepercayaan politeisme di Mesir.

8 Politeisme berasal dari bahasa Yunani Poly (jamak; lebih dari satu) dan Theos (Tuhan). Secara garis besar, politeisme adalah sebuah kepercayaan yang meyakini bahwa ada lebih dari satu Tuhan yang mengatur alam semesta.

9 Amenhotep IV berkuasa di Mesir pada abad ke-14 SM. Artinya beberapa abad sebelum Allah mengutus Musa Rasulullah untuk menyerukan laa ilaaha illa allah  dan juga melepaskan perbudakan Fir’aun terhadap Bani Israil di tanah Mesir; untuk menuju “tanah perjanjian”. Menurut banyak ahli sejarah, Ramses II adalah Fir’aun yang memperbudak Bani Israil dan yang menentang Musa Rasulullah; pada abad ± 13 SM.
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk ke dalam orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” [QS. Al Qashash, 28:3-6]
10 Kemudian satu contoh nyata lagi, mari kita perhatikan, bahwasannya Bapak dari Muhammad Rasulullah mempunyai nama Abdullah yang berarti abdi Allah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasulullah, orang-orang Arab pada masa itu sudahlah mengenal istilah Allah; sebagai satu-satunya Tuhan yang menciptakan langit dan bumi (monoteisme). Lantas kenapa Allah masih mengutus Muhammad guna mengumandangkan laa ilaaha illa allah kepada kaum Arab padahal Bapak dari Muhammad sendiri memiliki nama Abdullah (abdi Allah)? Apa yang salah dari kepercayaan yang mereka (kaum Fir’aun, kaum Arab pada masa Muhammad Rasulullah, dan kaum-kaum lain yang telah Allah “hakimi”) anut?

11 Ternyata, meskipun raja Mesir dan orang-orang Arab pada masa Muhammad Rasulullah tersebut mempunyai kepercayaan monoteisme, namun sesungguhnya yang mereka abdi bukanlah Allah, karena hukum yang mereka gunakan bukanlah Hukum-Hukum Allah, yang mereka gunakan adalah hukum-hukum hasil pemikiran dari manusia itu sendiri tanpa sedikit pun mengacu pada Kitab-Kitab Allah.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS. An Nisa:60]
12 Al-Quran menyatakan:
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir; zalim; fasik.” [QS. Al Maa'idah, 5:44,45,47]
Tidak peduli siapapun orangnya, ketika mereka memutuskan sesuatu dengan menggunakan hukum selain Hukum Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir; zalim; fasik (bahkan meskipun itu Rasul Allah sekalipun; namun tidaklah mungkin bagi Rasul Allah untuk menetapkan sesuatu dengan menggunakan hukum selain Hukum Allah.

13 Jadi sangatlah wajar jika Allah “menghukum” mereka meskipun mereka mempunyai kepercayaan monoteisme. Karena yang Allah butuhkan bukanlah ucapan pernyataan iman manusia, melainkan tindakan aktualisasi yang menyatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah.

14 Berbicara tentang laa ilaaha illa allah berarti berbicara tentang satu pengabdian, yaitu pengabdian manusia kepada satu Tuhan; siapa Tu[h]an dan siapa hamba, siapa yang diabdi dan siapa yang mengabdi. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Lantas, apa pengabdian itu sendiri dan bagaimana pengabdian yang benar?

15 Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetiaan, cinta kasih, kasih sayang, hormat, atau satu ikatan dan semua itu dilakukan dengan penuh keikhlasan. Pengabdian itu pada hakekatnya adalah rasa tanggungjawab.

16 Supaya lebih mudah dalam memahaminya akan saya berikan sebuah analogi yang sederhana tentang sebuah pengabdian. Sebuah analogi tentang pengabdian budak kepada tuannya. Seorang budak, tidaklah mungkin dapat mengabdi kepada lebih dari satu tuan, karena ketika budak tersebut melayani tuan yang satu, maka tuan yang lain akan cemburu.

17 Sama halnya dengan Allah. Ketika manusia mengabdi kepada tuan lain selain Allah, maka Allah akan cemburu yang berujung kepada “pemutusan hubungan kerja” antara Allah dan manusia. Dengan kata lain, Allah tidak sudi lagi mengurusi manusia, Allah membiarkan manusia tersebut berbuat semaunya sampai pada batas waktu yang telah ditetapkan - yaumil akhir -.
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.” [QS. Al Baqarah, 2:17]

0 komentar:

Posting Komentar

* Titip iklan akan dihapus.
* Anonymous diperbolehkan.
* Berkomentarlah dengan bahasa santun dan jelas.
* Pertanyaan privat bisa melalui 'Form Kontak'.

:) :)) ;(( :-) =)) ;( ;-( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p)
:-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer
Klik emoticon, copy dan paste kode emoticon kedalam form komentar.