Apa reaksi Anda ketika mendengar kata Pancasila?
Ada kelompok yang menganggapnya sebagai aturan tertinggi karena dia merupakan dasar dari negara ini. Namun tak sedikit pihak yang menganggapnya sebagai bagian dari thagut, menganggapnya sebagai berhala, dan menyatakan musyrik bagi orang yang mengikutinya. Reaksi yang wajar, namun apakah tiap pihak tersebut sudah kenal Pancasila? Jangan sampai kita menjudge sesuatu padahal kita belum kenal tentangnya, itu namanya taklid buta.
Ada kelompok yang menganggapnya sebagai aturan tertinggi karena dia merupakan dasar dari negara ini. Namun tak sedikit pihak yang menganggapnya sebagai bagian dari thagut, menganggapnya sebagai berhala, dan menyatakan musyrik bagi orang yang mengikutinya. Reaksi yang wajar, namun apakah tiap pihak tersebut sudah kenal Pancasila? Jangan sampai kita menjudge sesuatu padahal kita belum kenal tentangnya, itu namanya taklid buta.
“Taqlid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah kemunduran Islam cepat sekali. Tak heran! Dimana genius dirantai, dimana akal fikiran diterungku, disitulah datang kematian.
….Saya sendiri, sebagai seorang terpelajar, barulah mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi jaman, karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaqlid saja, menyuruh orang percaya saja, mesum mbahnya mesum!
Bagi saya anti-taqlidisme itu berarti : bukan saja ‘kembali’ kepada Qur’an dan Hadits, tetapi ‘kembali kepada Qur’an dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum.” - Soekarno dalam Surat Ende 1936
Penggagas,
penggali, dan perumus Pancasila adalah tokoh politik dan seorang
negarawan yang dulu sangat populer namun kini mulai terlupakan, yaitu
Ir. Soekarno atau akrab dipanggil Bung Karno. Pancasila adalah isi jiwa
bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya terpendam bisu
oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah
negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia. Pada
poin ini, sebenarnya ajaran Pancasila sudah ada sejak berabad-abad
lampau di bumi Nusantara ini, dan Bung Karno menyadari bahwa ajaran itu
tengah terkubur, karena itulah dia menggalinya agar kembali bangkit menjadi
asas bangsa Nusantara.
Selain
seorang politisi negarawan handal, Bung Karno juga seorang yang
religius; bukan karena Bung Karno sering terlihat mengenakan peci/songkok, karena peci/songkok bukanlah atribut salah satu agama
tertentu. Latar belakang Kejawen, Hindu, dan Buddhisme amat kuat
mendasari spiritualitas Bung Karno, sehingga dia jauh dari sifat
ortodoks dogmatis dalam pemikiran religi. Dia juga tidak bercorak formal
santri dalam keislamannya. Bung Karno menyenangi bentuk sufisme yang
bebas, agama yang diperlukan sebagai bahasa kasih sayang, bahkan agama
yang penuh passion. Posisi keagamaan Bung Karno jelas berbeda dengan
(misalnya) H. Agus Salim, A Hassan, ataupun Mohammad Natsir, yang dikenal
sebagai pemikir-pemikir Islam yang bercorak ortodoks (rasional dan
bercorak doktriner).
Maka menjadi suatu keharusan, ketika Bung Karno merumuskan Pancasila (bersama para sahabatnya) syarat dengan kandungan religiusitas yang menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bintang terang ;pada gelapnya malam kala itu; yang menaungi empat sila yang lainnya. Maka, Ketuhanan Yang Maha Esa ada di atas kepentingan lainnya, termasuk kepentingan politik.
Sudah sekian lama Pancasila kembali terkubur sepeninggalan Bung Karno, dan kita harus mengakuinya karena itulah kebenarannya. Saatnya sudah tiba bagi kita untuk menggali kembali pikiran-pikiran Founding Fathers bangsa ini. Pancasila yang mempunyai makna dan kandungan yang teramat dalam sebenarnya mampu membawa bangsa ini menuju kemuliaan, bukanlah hal yang mustahil jika bangsa Nusantara ini mampu berdiri di atas segala bangsa selama bangsa ini rela menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Maka menjadi suatu keharusan, ketika Bung Karno merumuskan Pancasila (bersama para sahabatnya) syarat dengan kandungan religiusitas yang menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bintang terang ;pada gelapnya malam kala itu; yang menaungi empat sila yang lainnya. Maka, Ketuhanan Yang Maha Esa ada di atas kepentingan lainnya, termasuk kepentingan politik.
Sudah sekian lama Pancasila kembali terkubur sepeninggalan Bung Karno, dan kita harus mengakuinya karena itulah kebenarannya. Saatnya sudah tiba bagi kita untuk menggali kembali pikiran-pikiran Founding Fathers bangsa ini. Pancasila yang mempunyai makna dan kandungan yang teramat dalam sebenarnya mampu membawa bangsa ini menuju kemuliaan, bukanlah hal yang mustahil jika bangsa Nusantara ini mampu berdiri di atas segala bangsa selama bangsa ini rela menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Tahun 1926 adalah tahun dimana aku memperoleh kematangan dalam kepercayaan. Aku beranjak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak disandarkan semata-mata kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku melangkah ragu memulai permulaan jalan yang menuju kepada kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan perseorangan. Menurut jalan pikiranku, maka kemerdekaan seseorang meliputi juga kemerdekaan beragama.” - Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1966)
“Kita royal sekali dengan perkataan ‘kafir’. Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran –kafir; pantolan dan dasi dan topi-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; ya pergaluan dengan bangsa yang bukan Islam pun-kafir! Padahal apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal ‘naik onta’ dan ‘makan zonder sendok’ saja ‘seperti di jaman Nabi dan Chalifahnya’? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?”
“Islam melarang kita memakan babi. Islam juga melarang kita menghina kepada si miskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dikatakan dosa yang terberat, dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina si miskin, makan haknya anak yatim, memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan, maka tidak banyak orang yang menunjuk kepada tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi Islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir! Inilah gambaran jiwa Islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi."
“Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?
Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bahwa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!” - Soekarno dalam Surat Ende 1936
0 komentar:
Posting Komentar
* Titip iklan akan dihapus.
* Anonymous diperbolehkan.
* Berkomentarlah dengan bahasa santun dan jelas.
* Pertanyaan privat bisa melalui 'Form Kontak'.